Tentang Bid’ah Rasulullah Saw. bersabda, “Ucapan terbaik adalah Kitab Allah. Petunjuk terbaik adalah petunjuk Muhammad. Perkara yang paling buruk adalah perkara yang diada-adakan.


Setiap perkara yang diada-adakan adalah bidah. Setiap bidah adalah sesat. Dan setiap kesesatan tempatnya di neraka. (HR. Al-Nasa’i).


Secara pribadi saya sudah tidak tertarik dengan pembahasan tentang bid’ah. Bagi saya hal ini seharusnya sudah kita selesaikan sejak berabad-abad yang lalu hingga kita (umat Islam) lebih konsentrasi pada isu-isu kekinian yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.


Tapi, apa mau dikata. Isu bid’ah masih sensitif di tengah-tengah umat Islam saat ini.


Saya terpaksa melihat wacana soal bid’ah masih ada relevansinya, terutama karena geliat gerakan Islam trans-nasional (atau Islam puritan) yang cenderung "mem-bid’ah-kan" perilaku ritual Islam lokal yang banyak dilakukan oleh kaum muslim Indonesia.


Kata “bid’ah” selama ini dipahami secara beragam dan hampir tidak ada kesepakatan definisi tentangnya. Bid’ah menjadi semacam “bola liar” yang bisa ditendang oleh siapa saja dan menabrak siapa saja.


Sialnya, dalam hal ini semangat melontarkan tuduhan bidah didorong oleh makna “sesat” yang terkandung di dalamnya. Bid’ah adalah kesesatan dan kesesatan tempatnya di neraka, begitulah makna hadis di atas.


Inilah “spirit jahat “ yang ditangkap oleh sebagian muslim kemudian digunakan menuduh muslim yang lain. Saya katakan sebagai “spirit jahat” karena tuduhan bid’ah sama artinya dengan mengharapkan orang lain masuk neraka, berdasarkan hadis ddi atas.


Banyak ulama yang telah mendefinisikan “bid’ah”, namun sekian definisi yang ada terkesan rumit dan ideologis. Kita perlu memahami kata “bid’ah” secara lebih definitif-konvensional hingga tidak mudah digunakan sebagai “senjata” untuk menyerang.


Saya mengajak orang untuk melek sejarah hingga dapat memilih definisi yang tidak menyesatkan.


Jika tidak ada keberanian seperti ini, selamanya kita akan terjerumus dalam “jurang perebutan klaim keselamatan eskatologis” yang belum pasti kita dapatkan.


“Bid’ah” bagi saya adalah taqyîdu mâ athlaqahu Allahu wa rasûluh wa ithlâqu mâ qayyadahu Allahu wa rasûluh (membatasi sesuatu yang dibebaskan oleh Allah dan Rasul dan membebaskan sesuatu yang dibatasi oleh Allah dan Rasul).


Sesuatu yang di batasi oleh Allah dan Rasul jumlahnya sangat sedikit. Contoh paling tegas adalah ibadah.


Ibadah adalah kegiatan yang ditentukan (dibatasi) oleh Allah dan Rasul. Tidak seorang pun boleh mengadakan sebentuk ibadah yang petunjuk hukumnya tidak ada secara tegas.


Karena, pada dasarnya hukum ibadah adalah haram, kecuali ada dalil yang menunjukkan kewajibannya (al-ashlu fî al-‘ibâdah harâm hattâ yadulla al-dalîl ‘alâ al-wujûb).


Shalat wajib adalah lima waktu. Ini ketentuan dari Allah dan Rasul. Maka, tidak boleh orang menentukan kewajiban shalat di luar shalat yang lima itu. Puasa wajib adalah di bulan Ramadhan.


Ini ketentuan Allah dan Rasul. Maka, tidak boleh seorang pun menentukan kewajiban puasa di luar bulan Ramadhan. Dan contoh-contoh lain yang jumlahnya jauh lebih kecil daripada kebebasan yang Allah berikan.


Termasuk dalam kebebesan adalah tradisi. Dalam hal ini tradisi yang dilakukan oleh muslim lokal, seperti perayaan maulid nabi, tahlilan, tujuh bulanan (untuk mendoakan kehamilan), dan lain-lain merupakan tradisi yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam agama.


Agama tidak mewajibkan, tidak menyunahkan, dan tidak mengharamkan. Jika sesuatu tidak memiliki pijakan hukum secara pasti, maka sesuatu itu masuk dalam kategori kegiatan yang berstatus hukum mubâh (boleh): boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.


Tidak ada hukum yang mengikatnya hingga harus dilakukan atau ditinggalkan.


Dalam hal ini saya setuju dengan prinsip landasan hukum yang menjadi pegangan Imam Syafii, al-ashlu fî al-asyâ’ al-ibâhah hattâ yadulla al-dalîl ‘alâ al-tahrîm (segala sesuatu pada dasarnya berhukum boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).


Tidak ada istilah “bid’ah hasanah (baik)” selama kata bid’ah yang dimaksud adalah bid’ah secara terminologis (istilâhi). Semua bid’ah, secara terminologis, adalah kesesatan. Inilah bid’ah yang dimaksud oleh hadis yang terkenal itu.


Kategorisasi hasanah (baik) dan sayyi’ah/madzmûmah (buruk) lebih tepat diajektifkan pada kata sunnah.


Jadi, ada sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah. Ini sesuai dengan hadis, Man sanna sunnatan hasanatan ... wa man sanna sunnatan sayyi’atan ... (HR. Muslim dan yang lain).


Kata bid’ah tdk bisa dan tdk boleh dituduhkan secara serampangan kepada orang lain yg melakukan ritual tertentu yg tdk ada petunjuk hukumnya dalam agama seperti yg telah saya sebutkan di atas. Lontaran bid’ah menunjukkan kerendahan pemahaman seseorang akan asal-usul hukum agama.


Selain itu “sikap angkuh” ini sangat membahayakan karena berpotensi menjadi sumber permusuhan antar umat.


Siapa pun harus belajar akan kekayaan tradisi keilmuan Islam hingga tidak mudah menuduh orang lain sebagai pelaku bid’ah dan mengklaim dirinya sebagai pengemban sunnah yang paling sah: kesombongan yang tak terperikan! Selamat malam....


Top